Senin, 17 Oktober 2011

Kisah Nyata

Kisah Nyata Para Peselingkuh

Kisah Para Wanita Idaman (Lain)


Semua orang tahu kalau salah. Salah besar kalau kita tidur dengan suami wanita lain. Lalu bagaimana dengan saudara-saudara perempuan kita yang berada di kawasan “lampu merah”?
Ini adalah kisah mengenai Wanita Idaman Lain (WIL). Mungkin anda sudah punya bayangan seperti apa dirinya. Mungkin wajahnya seperti anda juga, pekerja kantoran. Ia melambaikan tangannya di depan wajah Anda sambil berkata bahwa ia tidak peduli kalau lelaki yang ditidurinya adalah suami Anda. Yang penting, ia merasa nyaman. Atau anda membayangkan ia seperti di dalam film-film atau novelnya Motinggo Boesye: perempuan gemerlap dengan anak-anak muda di sekitarnya. Atau gadis yang tiada bedanya dengan mahasiswi lainnya, suka ke pesta dan berbelanja, tetapi selalu siap menunggu “ayah asuh”nya. Tak peduli seperti apa bayangan Anda, kalau umurnya antara 20-40, penampilan para wanita idaman lain ini sesungguhnya tidak berbeda dari Anda sendiri. Seperti kebanyakan wanita.
Malam ini, tak ada bedanya dengan akhir pekan para perempuan lainnya – makan malam dan berbagi cerita rahasia. Semua orang yang berkumpul di kafe ini masih muda dan cantik, terdidik dan bekerja. Salah satunya bernama Sita (29), seorang produser acara teve yang telah tiga tahun menjalin hubungan serius dengan seorang pengurus asosiasi pengusaha yang telah beristri. Di sebelah kanan Sita adalah Rani (26), seorang aktivis yang berkaitan dengan pendidikan anak-anak. Enam bulan lalu ketika kami makan siang, Rani bertemu pria yang menurut saya biasa saja, namun menurutnya sangat tampan dan harus dimilikinya – bahkan kalau ia sudah kawin. Maria, (24), seorang mahasiswi pasca sarjana yang selalu kami anggap adik bungsu. Ia mengaku setia dengan pacarnya sejak SMA, yang sering membuatnya kesal, meski beberapa bulan sekali mereka tidur bersama. Dan Maria sampai kini masih melakukannya, bersama pacarnya yang kini telah menikah. Lalu saya sendiri, seorang redaktur sebuah majalah, sahabat, kakak kepercayaan mereka semua. Bertahun-tahun lalu saya menangkap basah pacar saya berdusta, mendua dengan wanita lain. Saya segera memutuskannya. Saya tak mau terlibat dengan pria macam begitu.
Sungguh menakutkan, betapa affair dengan mudah terjadi di sekitar kita. Tanpa perencanaan, tanpa sengaja, seorang wanita tiba-tiba bisa saja terlibat di dalamnya. Memang ada perempuan yang sepanjang hidupnya berkarir di jalur perselingkuhan ini. Lalu ada juga wanita yang sangat kesepian dan merasa tak aman sehingga merasa layak menerima pria mana saja yang ‘ditinggal’ istrinya. Seperti yang dikatakan Sita, “Tiga minggu sekali kami bertemu. Aku selalu menantikan hari pertemuan kami. Ia begitu terbuka, dengan senang mengakomodasi diriku.”
Akan tetapi, bagi banyak wanita, transgresi ini hanyalah satu tahap – tahap yang kadang-kadang menuju periode patah hati, perselisihan, dan penistaan yang tak terperi. “Tetapi itu tidak akan terjadi pada diriku,” hampir semuanya berkata begini sebagai pembenaran. Bahkan bagi sebagian wanita muda, ini adalah suatu perjalanan menuju cinta sejati dan keluarga. Sebuah affair mereka anggap seperti perhentian sementara yang melegakan. Tidak perlu ada tekanan mengenai komitmen, tanggung jawab, atau bahkan cinta. Pria selingkuhan mereka itu sekadar seseorang yang enak diajak bermain-main, di mana para perempuan ini tak perlu memikirkan si lelaki terlalu serius sehingga masih bisa terus memikirkan karir dan diri mereka sendiri. “Bagaimana pun juga, aku masih seorang gadis, masih lajang, bukan istri,” sahut Rani.
Boleh dikata para perempuan ini berada dalam suatu tahap perkembangan tertentu dimana mereka sesungguhnya sama sekali tidak siap untuk sebuah hubungan serius sepenuhnya. Mungkin kalau mereka sudah berumur sekitar 30-an dan memutuskan ingin punya anak, mereka akan mencari seorang lelaki yang juga siap untuk diajak berkeluarga.
Selama bertahun-tahun, Sita tidak keberatan dengan seks bebas – salah satu ‘dampak samping’ perselingkuhan. Ia menyukai hubungan yang lepas, tanpa komitmen, di antara waktu senggangnya. “Pria hanyalah seseorang yang menemani kita di waktu luang,” tegas Sita. “Sungguh, kalau kamu sesibuk aku, kamu akan membutuhkan seseorang yang bisa diajak beristirahat, orang yang menemani kita makan malam, nonton bioskop, tanpa kita harus peduli di mana ia melempar kaos kakinya dan segala urusan rumah tangga lainnya. Meskipun Sita juga punya agenda untuk menemukan lelakiyang bisa dimilikinya sendiri, namun ia juga mengaku sudah terbiasa dengan lelaki milik perempuan lain.
Sebagian perempuan yang terlibat perserongan menyatakan bahwa tidak cukup banyak pria baik untuk dikawini. Namun, apakah kelangkaan pria baik-baik ataukah banjir hormon yang membuat para wanita muda ini begitu panas?
Boleh jadi ini adalah cerminan perubahan sikap perempuan dalam memandang diri mereka dan dunianya. Kini mereka begitu percaya diri. Dengar saja, lagu-lagu yang dinyanyikan para gadis sekarang, syairnya penuh keyakinan diri, termasuk dalam urusan cinta. Mereka tak lagi cengeng. Jika memang harus berebut, bertempur pun mereka jalani, demi cinta atau pria yang mereka percayai sebagai miliknya, sebagai takdirnya.
Di sekitar meja kami ada beragam makanan, pasta, kentang penyet, dan cumi kering goreng. Saya memandang Maria dan bertanya, “Aku dengar kau merengeki pacarmu, seperti tidak ada pria lain saja.” Dan tanpa malu ia mengakui, “aku sangat bahagia bila mendengar suami wanita lain memanggil namaku. Aku pikir, dia tidak akan kembali lagi kepadaku kalau aku tidak cukup baik baginya.”
Sementara Rani menyatakan kalau ada sesuatu yang menentramkan bersama dengan suami orang lain. Kamu tak pernah bingung apa sedang dilakukannya, karena kita tahu pasti apa yang dilakukannya kalau tak bersama kita, pastilah dengan istrinya sendiri. Kita tak pernah kecewa kepadanya karena kita memang tidak berharap apa-apa dari suami orang lain ini. Dan kita tidak akan terbawa masuk ke dalam konflik emosional yang kita tidak siap. Biasanya, aku akan menemui pria kalau aku menginginkan semacam fantasi tak terikat. Aku bisa berpura-pura kami sedang memiliki satu sama lain, lalu aku pulang dengan tenang. Aku tidak akan berharap apa pun, sehingga aku tidak sakit hati sama sekali.”
Sita mengangguk penuh rasa simpati, tersenyum dan menyahut, “Aku menyukai seks – bertemu di tempat-tempat rahasia atau ke rumahnya ketika istrinya pergi. Lagi pula, aku tahu aku akan memperoleh kepuasan kapan pun aku mau. Tak ada ikatan sama sekali. Kami berteman baik dan kami merasakan seks yang indah.”
Gaya kelompok ini menjelaskan situasi mereka – kebebasan, kegembiraan dan keamanan perasaan – terdengar seperti fantasi. Dan banyak pakar menggarisbawahinya. Para wanita ini tidak hanya membodohi diri sendiri, tetapi perilaku mereka pada akhirnya juga menghantui mereka.
Mereka melakukan penyangkalan yang sangat besar. Mereka menyangkal kebutuhan dan perasaan mereka sendiri. Mereka mengatakan kalau, “Ia akan di sisiku jika aku memanggilnya,” padahal tidak ada perempuan berselingkuh yang bisa mengendalikan hubungan mereka. Mereka juga menyatakan kalau mereka menunggu sampai saatnya tiba. Namun ketika waktunya datang, yang hadir hanyalah rasa kebencian, kemarahan, kesepian dan depresi. Itulah realitanya.
Apabila anda yakin dengan hukum Karma, dengan terlibat dalam suatu hubungan bersama suami wanita lain, kita menimbulkan energi pengkhianatan dan dusta. Energi ini akan kembali pada sumbernya. Itu berarti suatu hari nanti Anda juga akan dikhianati dan didustai. Anda akan sakit hati. Ini hukum yang tak bisa dibalik.
Akan tetapi kemungkinan-kemungkinan karma ini tidak terlintas di dalam pikiran wanita-wanita di depanku. “Pernahkah kalian berfikir kalau tindakan kalian salah?” tanya saya. “Apa yang kau maksud dengan salah?” Sita balik bertanya. Dan yang lain terbahak-bahak, mungkin untuk menghindari perbincangan yang menyakitkan ini.
Kemudian mereka mulai bicara soal bagaimana mereka menimbang pro-kontra, tentang bagaimana mereka musti melepaskan diri dari wanita lain, tentang bagaimana mereka merasa bersalah, dan tentang seharusnya mereka tidak melakukannya. Kemudian saya berkata, “Kadang-kadang kupikir alasan mengapa aku tetap melajang adalah sebagai hukuman atas hal-hal buruk yang kulakukan pada masa lalu.”
Rani menolak kalau ini adalah situasi hukuman. Tetapi ia mengakui kalau semua ini begitu menistakan, memalukan. Seperti terakhir kali ia bertemu dengan ‘kekasih’nya. Setelah berjam-jam mempersiapkan diri – mandi khusus, merawat kuku, memilih baju istimewa, menyemprotkan parfum merangsang, memilih restoran mewah – ternyata cuma dihampiri sejenak sekadar untuk mengatakan bahwa anak lelakinya ingin ditemani main dan ia sudah terlanjur berjanji kepada istrinya, dan ia memanggilkan taksi untuk membawa Rani pulang kembali ke apartemennya. “Perjalanan pulang saat itu terasa sangat lama, karena aku tahu kalau ia berbohong.”
Para gadis ini menghabiskan minuman mereka sambil bicara soal pengalaman buruk mereka berselingkuh. Seperti kisah Sita kalau ia musti menelpon rumah ‘pasangannya’ dan jika yang menerima adalah istrinya, ia harus berpura-pura. “Aku harus mengubah suaraku, dan berkata, ‘Hai, Endra ada? Yah, tolong beritahu kalau Gina menelpon,’ atau ‘Bisakah kau beritahu dia kalau Intan tak bisa makan malam bersamanya’ atau ‘tolong sampaikan kalau penerbangan Dewi dibatalkan.’” Sita melanjutkan, “Aku senewen setiap kali mendengar suara istrinya, karena seakan statusku begitu rendah dan hina sampai harus sembunyi-sembunyi.”
Maria yang malang malah terobsesi dengan ‘pacar’nya sehingga suatu malam ia musti begadang di dalam mobilnya untuk mengetahui rumah kekasih gelapnya. Ia musti keliling kompleks perumahan dan akhirnya dihentikan dan ditanyai satpam.
Semua menceritakan kisah-kisah lara. Dan pelan-pelan muncullah fokus: bukan kerinduan atau penistaan ini yang membuat para wanita ini terpojok dan akhirnya bertahan. Tetapi kadang-kadang rasa bersalah merayap dan mendesak kerongkongan mereka.
Tak berapa lama yang lalu, Rani mengacaukan hubungan temannya sendiri yang telah bertunangan dan hendak menikah. Pria itu bercerita kalau calon istrinya memutuskan untuk selibat sampai upacara pernikahan. Rani jatuh kasihan dan beberapa kali berhubungan badan dengan pria itu. “Namun setelah itu aku merasa tak menyukai diriku sendiri. Bukankah seharusnya aku tetap menjadi temannya dan membesarkan hatinya supaya terus mempertahankan hubungan dengan tunangannya itu? Beberapa bulan setelah itu aku mulai sadar bahwa aku musti memperbaiki pertimbangan moralku.”
Sita merasa begitu bersalah atas apa yang terjadi empat tahun lalu. Ia menatap piringnya dan berkata, “Sejak kecil aku memuja wanita ini. Wanita ini sangat mencintai suaminya. Tetapi aku dan suaminya malah melakukan sesuatu yang kekanak-kanakan. Kami berfantasi seandainya saja kami lebih dulu bertemu daripada dengan istrinya, maka kini kami adalah pasangan serasi, karena kami merasa pasangan yang telah ditakdirkan.” Kenyataannya? Sita sampai sekarang sangat menyesali kebodohannya itu dan bertanya-tanya bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal seperti itu.
“Yang kumaksud bukanlah tidur dengan suami orang. Melainkan tingkahku yang tidak menghargai diri sendiri.” Kemudian ia tertawa, “Itulah yang terburuk. Aku begitu membutuhkan kasih sayang sehingga aku mati-matian memperolehnya dari suami orang.”
Selama beberapa detik kebisuan melanda, sampai saya sendiri berkata, “Aku juga pernah berdusta. Kita tidak tahu rasanya sampai kita mengalaminya. Ketika aku bertanya kepadanya mengapa ia berselingkuh, ia menjawab, ‘pantatnya kan besar sekali dan...ah kamu kan tahu.’ Sepertinya ia mengandaikan kalau aku memahaminya. Lalu semua rasa tak aman bermunculan. Aku merasa begitu buruk. Aku lalu menutup diri. Tapi kemudian aku berfikir, kalau aku menyukai pria ini mungkin hanya bertahan beberapa bulan, kemudian apa yang akan kurasakan kalau ia adalah belahan jiwaku? Karena itu aku memutuskan untuk tidak mau melukai wanita yang merasa pria ini adalah belahan jiwanya: istrinya. Nah sekarang seperti kalian semua tahu, aku sudah dua tahun tidak berpacaran.” Dan semua tertawa.
Banyak hal yang membuat wanita menghentikan perselingkuhannya. Yang jelas, penghentian itu terasa sangat menyakitkan. Kadang-kadang secara mendadak, seperti menemukan pencerahan. Tetapi ada juga yang berjalan pelahan-lahan. Seringkali, terutama bagi wanita umur 20-an, hubungan-hubungan segitiga itu berhenti seiring dengan tumbuhnya kematangan mereka. Semakin dewasa, perempuan makin serius dalam memilih pasangan hidup. Dan dalam menemukan orang yang memungkinkan mereka menguji kemampuannya untuk mencintai sepenuh mungkin.
Pramusaji datang membawa bon. Kami hampir empat jam berada di kafe ini, saling bertutur dan membuat pengakuan. Empat wanita yang memiliki kesamaan dan tetap tak punya konsensus kami musti menuju ke mana. Sita tetap merasa dirinya elok dan akan bertemu ‘lelaki’nya akhir pekan depan. Rani mengeluh tak tahu harus berbuat apa. Sementara Maria bersumpah (sekali lagi) kalau akan mengakhiri hubungannya, dan kami semua ingin bisa mempercayainya. Saya menegaskan dalam diri sendiri bahwa saya tidak akan terlibat dengan lelaki yang telah punya pacar, apalagi istri. Bukan hanya karena pertimbangan moral, tetapi juga tak rela menghabiskan energi perasaan dengan prianya orang lain. Punya affair berarti kita terus menerus menginjak rem – untuk tidak jatuh cinta, bahkan jika itulah perasaan yang sedang kita rasakan. Juga untuk tidak marah, walau kita sedang disakiti. Sungguh beban yang terlalu berat.
Seorang lelaki yang terlibat perselingkuhan tidak akan mengemukakan apa-apa kepada kekasih gelapnya. Apalagi soal kemampuannya mempertahankan dan memperdalam rasa cintanya. Maka, jika Anda adalah bagian dari sebuah segitiga cinta, periksalah apakah hubungan ini nyata dan bertahan lama.